Kamis, Desember 04, 2008

Serial Wawancara Seputar Pengembangan Bahasa Arab di Indonesia

Indonesia merupakan negeri yang sarat akan sarana-sarana yang dapat menunjang masyarakat kita untuk bisa dengan mudah menguasai bahasa Arab. Karena, begitu banyak pesantren dan madrasah. Disamping itu, sangat banyak di Indonesia ini yang alumni Timur Tengah. Bahkan tiap tahun lebih dari 200.000 orang Indonesia yang berpuluh-puluh hari tinggal di Arab untuk menunaikan ibadah haji. Belum lagi yang umrah di luar musim haji.

Tapi mengapa justru gairah masyarakat kita terhadap bahasa Arab belum tumbuh. Dan yang sedikit mengherankan, mengapa di setiap Bandara dan di dalam pesawat, bahkan untuk rute penerbangan domestik misalnya, justru yang digunakan adalah bahasa Inggris. Pada mungkin saja disitu tidak ada orang bule-nya. Kenapa bukan bahasa Arab.

Berikut ini petikan wawancara Admin Lisaabul Arab dengan Al ‘Arabiyyah Motivator, Zamroni Ahmad, yang sekaligus Trainer AFLAT (Amazing Arabic Flash Training)

Assalamu’alaikum Pak Zam?
Waalaykumussalam

Bagaimana kabar Pak?
Alhamdulillah ana bi khayr. Antum gimana?

Alhamdulillah sehat Pak. Langsung saja ya Pak tentang tingkat kesemarakan dan kegairahan masyarakat Indonesia terhadap bahasa Arab. Seperti apa yang Bapak Lihat?

Thayyib. Jadi memang secara obyektif, masyarakat kita ini lebih banyak bersentuhan dengan nuansa Arab daripada bahasa lain seperti China, Inggris, Jepang, Jerman, Perancis, dll. Tapi yang kita tidak habis fikir kenapa justru bahasa Arab tidak menjadi salah satu faktor pewarna masyarakat kita.

Dan kalau mau kita lebih jujur lagi, kita ini sebenarnya dalam banyak kegiatan dan momentum tidak bisa meninggalkan bahasa Arab dalam kegiatan dan momentum itu. Bahkan di situ kita masih bisa meninggalkan bahasa Indonesia yang notabenenya kita gunakan sehari-hari. Yang ana maksud di sini adalah ibadah dan doa misalnya, atau berbagai situasi spontanitas kita. Coba saja kita sholat pakai bahasa selain Arab, bukan saja kurang enak rasanya, tapi memang tidak sah sholat dengan bahasa selain bahasa Arab. Bahkan di sebagian kalangan masyarakat kita ada komunitas-komunitas yang mempraktekkan wirid-wirid sesudah sholat subuh dan magrib atau sholat-sholat lainnya yang begitu panjang. Dan semua wirid itu pakai bahasa Arab. Yang kalau kita mereka untuk ganti dengan bahasa Indonesia misalkan, tentu mereka tidak akan tahu harus mengucapkan apa. Terus, yang lain lagi misalnya ketika kita bersin mengucapkan alhamdulillah, ketika saling berjumpa mengucapkan salam, ketika mendengar ada yang meninggal spntan kita mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilayhi raji’un, dan berbagai spontanitas lainnya.

Maksud Bapak dengan mengangkat persoalan ini apa?
Iya...jadi melihat dan merujuk pada prosentase kebersinggungan kita dengan bahasa Arab dalam banyak kegiatan sehari-hari, maka ada semacam korelasi yang tidak positif dengan gairah dan kepedulian masyarakat kita dengan bahasa Arab.

Coba Anda perhatikan juga, di Indonesia ini kan lebih banyak yang bernama Madrasah daripada School. Lebih banyak yang bernama Ma’had atau Pesantren ketimbang Boarding School, lebih banyak Lc daripada Bachelors atau alumni negara Barat. Tapi kenyataannya yang sepertinya menjadi tren kan justru bahasa Inggris.

Anda ingat ngga’ ketika perjanjian di Helsinki antara RI dan GAM, yang duganakan bahasa apa coba....bahasa Inggris kan?

Bapak kelihatannya ingin mengkonfrontir bahasa Arab dengan Inggris?!
Oh ngga...ngga gitu. Jadi ana sama sekali tidak bermaksud mengkonfrontir bahasa satu dengan lainnya. Karena bahasa kan merupakan sarana komunikasi biasa.

Tapi ada dua hal yang perlu kita sadari. Pertama, soal ironisme saja ketika kita pada satu sisi sering sekali bertemu dengan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari tapi sisi lain kita tidak mencoba menghadirkan bahasa Arab sebagai bahasa yang penting untuk dipelajari dan diperdalam secara massal dan sistemik. Kedua, bahasa Arab ini bukan sekedar bahasa komunikasi biasa. Tapi ia merupakan bahasa Ideologi, bahasa Agama, bahasa Budaya, dan jangan lupa... ia juga sekaligus bahasa pemersatu umat Islam sedunia. Jadi bagi orang Islam, mengetahui bahasa Arab adalah ‘harga mati’. Meskipun kita tidak ahli di bidang itu. Minimal kenal, dan fahamlah, dan tentu saja cinta.

Wah, kelihatannya sangat serius ini persoalannya kalau mendengar cara dan nada bicara Bapak. Saya tertarik juga dengan kata terakhir tadi..CINTA. Itu kata kunci atau apa Pak?
Afwan, namanya juga al ‘arabiyyah motivator, jadi mesti kaya tadi gayanya (sejenak Pak Zam tertawa kecil, adm). Jadi begini, ini dia point yang ana ingin masuki sejak tadi. Soal Cinta. Jadi mungkin saja karena Cinta itu kurang atau bahkan mungkin tidak ada sehingga membuat kita umat Muslim Indonesia ini kurang adil dalam menempatkan dan memperlakukan bahasa Arab. Afwan, terpaksa ini harus ana kemukakan, tapi bukan dalam konteks sinisme melainkan mudah-mudahan difahami sebagai motivasi buat kawan-kawan: Begini, ada pertanyaan retoris yang ana mau ajukan, “berapa jumlah kawan-kawan kita yang tamatan Timur Tengah dan Ma’had atau pesantren yang berbakti untuk bahasa Arab setelah mereka hidup di masyarakat?” Ngga sedikit lho, yang akhirnya kehidupan sehari-hari mereka diisi dengan kesibukan-kesibukan yang tidak ada sangkut pautnya dengan bahasa Arab. Ini faktor apa namanya kalau bukan faktor yang kita sebut tadi sebagai CINTA. Apa mereka pandai bahasa Arab? Pandai. Apa mereka bisa baca kitab? Tentu, karena itu santapan sehari-hari mereka ketika masih belajar dulu.

Jadi kesimpulannya, masyarakat kita ini kurag atau tidak cinta apda bahasa Arab?
Ini sensitif sebenarnya kalau diungkapkan. Makanya ana sendiri tidak terlalu berani mengatakan bahwa kita kurang atau tidak cinta pada bahasa Arab. Kalau kita sapu rata bahwa lemahnya perkembangan bahasa Arab dikarenakan kita tidak cinta pada bahasa Arab....wah bisa-bisa ana diprotes nanti. Tapi memang fenomenanya adalah bukti cinta pada bahasa Arab itu yang memang kenyataannya tidak kita lihat.

Tapi memang ya...dukungan sistemik dan opini media juga berpengaruh di sini. Artinya, kalaupun kita katakan bahwa sebenarnya masyarkat kita betapa besar cintanya dan bukti cintanya pada bahasa Arab, tapi kalau pemerintah tidak menggalakkannya melalui lembaga pendidikan formal; kemudian memanifestasikannya dalam berbagai urusan publik seperti di Bandara dan pesawat; lalu didukung oleh media massa yang menyajikan acara yang proporsi bahasa Arabnya memadai, insyaallah ini akan sangat membantu.
Tapi sekarang ini masih sulit. Ya, makanya kita ini hadir...bukan sebagai kumpulan ahli bahasa Arab. Tapi kumpulan orang-orang yang cinta bahasa Arab dan mencoba berusaha menebar cinta pada masyarakat terhadap bahasa Arab. Mudah-mudahan bisa menjadi motivasi buat teman-teman yang lebih pakar dalam bidang ini daripada kami.

Baik, mungkin segitu dulu Pak, insyaallah nanti kita sambung lagi.
Na’am. insyaallah

Syukran Pak.
Afwan. Jazakallah ahsanal jaza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar